Teknologi informasi dan komunikasi di era digital menjadi peluang sekaligus tantangan terbuka untuk setiap orang dalam menyatakan dan mengungkapkan berbagai hal: hasrat, keinginan, gagasan dan kebutuhan, bahkan masalah-masalah kehidupan individual dan sosial. Nyaris tidak ada lagi sekat-sekat rahasia apa pun dalam hubungan informal dan transaksional manusia. Adagium Teknologi informasi dan komunikasi di era digital menjadi peluang sekaligus tantangan terbuka untuk setiap orang dalam menyatakan dan mengungkapkan berbagai hal: hasrat, keinginan, gagasan dan kebutuhan, bahkan masalah-masalah kehidupan individual dan sosial. Nyaris tidak ada lagi sekat-sekat rahasia apa pun dalam hubungan informal dan transaksional manusia. Adagium silience is golden, yang terpendam di bawah alam sadar sekalipun, banyak menyeruak kepermukaan. Orang-orang yang tadinya introvert, lebih suka menyendiri, malu-malu atau menutup diri, bisa ramai berkomentar atau menjadi lantang bersilang pendapat, beradu argumen terutama di banyak kanal media sosial. Terlebih lagi orang-orang berkepribadian extrovert, yang jiwanya terbuka dan lebih menyukai lingkungan sosial, bisa menjadi lebih bebas berpendapat atau bersilat lidah, yang kadang kebablasan melanggar norma, etika, tradisi dan budaya serta agama. Bahkan dengan orang yang baru kenal atau tidak kenal sekali pun.
"Ada teori yang bilang kalau kita mengomentari negatif orang-orang yang tidak kita kenal, itu membuat kita merasa lebih positif pada diri sendiri. Kalau komentar negatif ke orang yang kita kenal, kita juga akan merasa negatif,” jelas Tara de Thouars, psikolog klinis di RSJ Sanatorium Dharmawangsa, di Jakarta Selatan, Selasa, 25 September 2018. ( tempo.co: Rabu, 26 September 2018 11:31 WIB ). Ujung-ujungnya tidak jarang hubungan persaudaraan pun menjadi retak dan putus sekaligus. Hasil penelitian yang diterbitkan di The Journal Depression and Anxiety juga menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan gejala depresi sebesar 10 persen akibat komentar negatif di media sosial. Penelitian yang sama juga mengungkapkan, pengalaman negatif di media sosial lebih memberikan dampak dalam kehidupan nyata ketimbang pengalaman positif. Sulli, aktris dan penyanyi asal Korea Selatan, ditemukan bunuh diri beberapa waktu lalu. Dikabarkan penyebabnya karena tidak kuat menerima bully dan komentar negatif di media sosial . (halodoc: Ditinjau oleh: dr. Rizal Fadli : 16 Oktober 2019)
Pengamat media sosial sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Yohannes Widodo menyebut pola bermedia netizen Indonesia sebenarnya merupakan representasi dari sikap dan perilaku di dunia nyata. Perilaku yang tidak memperhatikan etika dan sopan santun di media sosial juga sesuai dengan keadaan riil dewasa ini, di mana etika dan sopan santun di dunia nyata juga kerap menjadi persoalan tersendiri. (Kompas.com - 14/04/2021, 16:52 WIB)
Dewasa ini teknologi digital seringkali dianggap hanya sebagai instrumen, alat yang bisa digunakan untuk segala hal tanpa kendali hati, pikiran dan emosi. Tidaklah heran kemudian muncul dan bertebaran konten-konten dan pesan-pesan yang tidak baik, benar dan bermaslahat buat masyarakat. Banyak modus penipuan, rayuan maut atau pemberi harapan palsu, pergunjingan, fitnah, caci maki, hujatan, dan ujaran-ujaran kebencian lain, bahkan berita-berita bohong yang kerap mengecoh pembaca dan pemirsa serta para pengikut kanal medoa sosial fanatik. Sikap dan perilaku masyarakat menjadi terpecah belah dalam berbagai aliran dan kubu. Yang berwenang mengatur, membina, mengawasi dan mengendalian kebebasan berekspresi via media pun terkesan kewalahan dan membiarkan masyarakat menggunakan parameter baik buruk masing-masing. Pengawasan dan perlakuan tindakan turun tangan terhadap perilaku komunikasi liberal juga masih terkesan diskriminatif. Renggangnya keerataran emosional atau timbulnya ketidaknyamanan dalam berbagai aktivitas hubungan persaudaraan antar pribadi, kelompok dan masyarakat di dunia maya sering menimbulkan masalah sosial berkepanjangan di dunia nyata. Kita terkadang lupa atau melupakan, bahwa dalam relasi sosial ada kalanya bersebrangan atau berbeda dengan hati, pikiran, kebiasaan, kepribadian dan kebudayaan termasuk keyakinan dan keimanan beragama orang lain, Pertahanan diri dan agresivitas pribadi, kelompok atau kubu terlihat sangat kasat mata, karena satu sama lain dianatar kita banyak yang tidak mampu lagi mengendalikan hati, pikiran, emosi dan tindakan.
Lain dunia netizen, lain pula dunia jurnalistik dan media, baik online maupun offline. Wartawan sebagai bagian dari aktivitas jurnalistik dan medianya harus mencari, memburu dan menggali komentar dengan gigih. Banyak wartawan berhadapan dengan tokoh politik, penguasa dan pengusaha besar yang menghindar dari sengatan-sengatan pertanyaan yang diajukannya. Terlebih lagi kalau pertanyaan wartawan muncul mendadak dan tidak terduga di ruang publik terbuka, yang terkait dengan permasalahan dan kesalahan berat yang merugikan masyarakat. Pengelola media dan wartawannya dituntut menganalisis, memilih dan memilah setiap fakta dan peristiwa yang dianggap layak terbit atau tayang: bukan hanya sekadar punya nilai jual dan keuntungan bisnis. Mendiang Jakob Oetama menegaskan, jurnalistik itu bukan sekadar memenuhi yang diinginkan masyarakat, tapi apakah ada manfaat yang bisa disampaikan.
Teknologi digital memang semakin mempermudah aktivitas akses pencarian, pengolahan, penyeleksian dan penyebaran berbagai berita dan peristiwa.Wartawan yang tempo hari sering dijuluki nyamuk-nyamuk pers itu cenderung suka ngorek-korek kesalahan orang. Bukan sembarang orang. Tapi hanya orang-orang yang punya nilai berita tinggi dan biasanya yang terlibat kesalahan besar, dan skandal berat yang merugikan hajat hidup orang banyak. Ternyata bukan hanya wartawan saja yang suka bad news is good news, berita buruk adalah berita baik. Begitu pun masyarakat selalu menaruh perhatian tinggi dan hampir selalu tergiring opini-opini negatif atau menyesatkan. Bagi media dimana pun dan apa pun, berita-berita jelek masih diyakini punya nilai jual tinggi. Wajar wartawan itu sering dihindari, dibenci tapi juga disenangi dan dicari orang-orang berkuasa dan berkepentingan, kalau dibutuhkan jasanya. Namun demikian, banyak pula tokoh politik, bahkan birokrat tidak suka bertemu wartawan, padahal notabene para politisi dan pejabat publik lainnya adalah milik masyarakat, yang mempunyai tanggung jawab dan amanah untuk diketahui kiprahnya dalam memperjuangkan kepentingan dan aspirasi orang banyak. Tidak sedikit politisi yang alergi kepergok wartawan. Mereka gampang bilang: “no comment”. Ungkapan 'No comment' adalah pertanda kekhawatiran, bahkan ketakutan seseorang yang menyembunyikan aib atau penyalahgunaan usaha, jabatan, kekuasaan dan kewenangannya. Secara implisit ungkapan no comment pun adalah comment, yang justru cenderung mendorong rasa penasaran wartawan bertanya lebih gencar dan jauh lagi. Namanya bukan wartawan kalau tidak punya kepribadian kepo, dorongan kuat ingin tahu.
Politisi kawakan Hajriyanto Y. Thohari, kader Muhammadiyah yang pernah menjabat Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014 dari Partai Golkar dan kini menjabat Duta Besar LBBP RI untuk Lebanon di Beirut sejak 2019, ketika menjabat Ketua DPP Partai Golkar pernah berkomentar, bahwa seorang politisi harus dapat menjawab semua hal yang ditanyakan masyarakat, termasuk media. Seorang politisi tentunya dituntut menguasai banyak hal. Bukan hanya pengetahuan terkait isu-isu terkini, politisi juga dituntut memiliki kemampuan mengolah kata menjadi informasi yang dapat membawa manfaat dan kredibel,"Politisi itu enggak boleh bilang no comment. Kalau bilang no comment, namanya bukan politisi," kata Hajriyanto pada sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis 21/11/2013. ( Kompas.com - 21/11/2013, 15:38 )
Namun demikian, tidak semua orang, termasuk politisi, baik yang jujur dan amanah atau yang sebaliknya memiliki kepiawaian dan kelihaian berbicara atau berkomentar baik dan benar di depan wartawan atau publik. Perlu pembiasaan dan pengkondisian berkelanjutan untuk menjadi pribadi-pribadi yang berani terbuka dan jujur atas kekurangan atau kesalahan yang diperbuatnya. Agar mampu mengungkapkan secara jujur dan terbuka tentang berbagai masalah krusial, yang perlu dan bermanfaat untuk diketahui masyarakat. Wallohu a’lam
Penulis: Sofiandy Zakaria (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UMJ 1989-2022)
Gambar: https://keeppack.id/5-manfaat-digital-business-yang-menjadi-alasan-mengapa-kamu-harus-memulainya-sekarang/